RIAUPEMBARUAN.COM -Kasus hukum yang menyeret nama Toton Sumali terus menjadi sorotan publik. Setelah sebelumnya melaporkan dugaan tindak pidana pemalsuan surat tanah yang kini telah berproses di Kejaksaan Negeri Dumai, Toton kini kembali menjadi pelapor dalam perkara ujaran kebencian yang diduga dilakukan oleh anak dari tersangka kasus pemalsuan surat tersebut.
Laporan terhadap dugaan ujaran kebencian telah diterima resmi oleh Polres Dumai dengan nomor LP/B/94/V/2025/SPKT/POLRES DUMAI/POLDA RIAU pada Jumat, 10 Mei 2025. Laporan tersebut diajukan oleh Toton Sumali melalui kuasa hukumnya, Hendy, SH, atas dugaan penghinaan dan ujaran kebencian bermuatan SARA yang dilakukan di media sosial.
“Komentar pelaku jelas menyerang kehormatan dan identitas pribadi klien kami, serta mengandung muatan SARA yang berbahaya dan meresahkan masyarakat,” tegas Hendy dalam keterangannya.
Ia menjelaskan, konten yang disebarkan oleh terlapor tidak hanya mencemarkan nama baik, tetapi juga berpotensi menggiring opini publik terhadap perkara lain yang sedang berproses secara hukum, yaitu kasus pemalsuan surat tanah.
“Terlapor adalah anak dari tersangka berinisial I.F, yang saat ini telah resmi menjadi terdakwa dalam kasus pemalsuan surat tanah milik klien kami. Kami memandang bahwa pernyataan-pernyataan yang dilontarkan bisa menjadi bentuk tekanan moral dan sosial terhadap pelapor,” lanjutnya.
Kasus Tanah Resmi Dilimpahkan ke Kejaksaan
Kasus dugaan pemalsuan surat tanah yang dilaporkan oleh Toton Sumali pada 24 Agustus 2021 dengan Laporan Polisi Nomor: LP/213/VIII/2021 kini telah dinyatakan lengkap (P-21) dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Dumai pada 5 Mei 2025.
Perkara ini bermula dari dugaan pemalsuan ukuran tanah dalam surat penyerahan tahun 1961 atas nama Alip, yang dijadikan dasar oleh tersangka I.F dalam mengklaim hak atas lahan dan meminta uang sewa dari para pemilik bangunan di atas tanah tersebut. Dokumen asli menyebutkan ukuran 9 depa, namun dalam salinan yang digunakan tersangka tercantum 59 depa.
Menurut keterangan Kasat Reskrim Polres Dumai, AKP Kris Tofel S.Tr.K, S.I.K, penyidikan dilakukan secara profesional sejak 2021. Proses hukum mencakup gelar perkara, pemeriksaan 23 saksi, penggeledahan yang telah mendapatkan izin dari pengadilan, serta penyitaan dokumen-dokumen penting.
“Kami menemukan perbedaan ukuran yang signifikan antara dokumen asli dan yang digunakan tersangka. Fakta ini menjadi titik krusial dalam pembuktian unsur tindak pidana Pasal 263 ayat (1) dan (2) KUHP,” ungkap AKP Kris.
Penyidik juga telah melibatkan ahli pidana dan melakukan pengukuran ulang bersama BPN Dumai. Barang bukti yang disita meliputi surat tanah asli, fotokopi legalisir, hingga dokumen administrasi kependudukan yang memperkuat dugaan pemalsuan.
Dugaan Manipulasi untuk Kepentingan Pribadi
Hasil investigasi mengungkap bahwa sebagian tanah yang disengketakan telah dijual pada tahun 2004 melalui Surat Keterangan Ganti Rugi Usaha, dengan ukuran sah 9 x 81 depa sebagaimana tercatat dalam arsip Kelurahan Bintan. Hal ini makin mempertegas bahwa ukuran 59 x 81 depa yang digunakan I.F tidak sesuai dengan dokumen resmi negara.
“Pembuatan atau penggunaan surat palsu untuk menguasai lahan dan menarik uang sewa adalah pelanggaran serius. Kami berharap proses hukum ini memberi efek jera bagi siapapun yang berniat menyalahgunakan dokumen,” tambah AKP Kris.
Kuasa Hukum: Dua Kasus Saling Berkaitan Secara Kontekstual
Kuasa hukum Toton Sumali, Hendy, SH, menyatakan bahwa kasus ujaran kebencian dan pemalsuan surat kini memiliki kaitan kontekstual yang tidak bisa diabaikan.
“Kami melihat bahwa tindakan anak tersangka yang menyerang klien kami di media sosial adalah bagian dari tekanan dan penggiringan opini publik. Ini tidak boleh dibiarkan. Aparat penegak hukum harus tegas menyikapi semua bentuk pelanggaran hukum, baik verbal maupun administratif,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal dua proses hukum ini hingga ke meja hijau, demi kepastian hukum dan keadilan bagi kliennya.
"Kalau Terlapor tidak puas dengan penanganan perkara orangtuanya,mestinya dia menempuh langkah-langkah hukum yang telah disediakan oleh Undang-Undang, bukan malah cuap-cuap ke medsos dengan menyampaikan informasi-informasi yang keliru diruang publik,sehingga memprovokasi masyarakat yang membacanya," tutup Hendy SH.*
Penulis: Redaksi
Editor: Rezi AP