RIAUPEMBARUAN.COM -Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), paru-paru hijau di jantung Riau, kini menghadapi ujian besar. Hutan yang semestinya menjadi rumah gajah sumatera ini terluka akibat perambahan, pembakaran, dan alih fungsi lahan. Di balik hijau yang meranggas, tersimpan kisah ribuan keluarga yang hidup di atas tanah sengketa.
Secara hukum, kawasan konservasi seluas 81.980 hektare ini dilindungi undang-undang. Setiap aktivitas alih fungsi tanpa izin adalah pelanggaran sebagaimana ditegaskan Pasal 19 dan 33 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam.
Namun realitasnya tidak sesederhana teks hukum. Sekitar 5.700 kepala keluarga telah teridentifikasi bermukim di dalam kawasan TNTN dan angka ini bisa membengkak menjadi 7.000 KK. Mereka bukan korporasi besar, melainkan petani kecil dengan dua hingga lima hektare kebun sawit yang menanam bukan untuk menumpuk laba, tetapi untuk bertahan hidup.
Mencari jalan keluar, Pemerintah Provinsi Riau bersama TNI, Polri, Kementerian LHK, dan para pemangku kepentingan menggelar rapat koordinasi yang dipimpin Gubernur Riau Abdul Wahid. Tujuannya mempercepat pemulihan ekosistem TNTN.
“Pemulihan Tesso Nilo adalah pekerjaan bersama. Ia menyangkut kelestarian lingkungan, kesejahteraan masyarakat, sekaligus keamanan wilayah,” kata Marsma TNI Abdul Haris, Komandan Lanud Roesmin Nurjadin, dalam rapat tersebut.
Gubernur Abdul Wahid menegaskan pemulihan TNTN tidak bisa dilakukan dengan pendekatan represif semata. Inventarisasi penduduk di dalam kawasan, penentuan lahan relokasi yang legal, serta skema mata pencaharian warga menjadi prioritas.
“Pemerintah tidak bisa mengusir begitu saja ribuan warga tanpa memberikan kepastian lahan pengganti,” tegasnya.
Dansatgas Penertiban Kawasan Hutan Mayjen TNI Dody Triwinarto melaporkan 7.150 hektare lahan telah direforestasi melalui sukarela masyarakat yang menyerahkan lahan kepada negara.
“Ini bukti partisipasi warga adalah kunci. Tanpa dukungan mereka, pemulihan hutan hanya jadi wacana,” katanya.
Meski begitu, jalan panjang masih terbentang. Risiko moral hazard bisa muncul bila proses relokasi tidak transparan. Ada potensi lahan pengganti justru dikuasai elite sementara petani kecil tersisih. TNTN juga rawan dijadikan komoditas politik untuk pencitraan. Karena itu akuntabilitas hukum harus dijaga agar solusi tidak berhenti di meja rapat.
Tesso Nilo bukan sekadar hutan. Ia adalah cermin bagaimana hukum dan politik Indonesia bekerja dalam menghadapi konflik agraria. Di sana ada gajah yang kehilangan rumah, ada rakyat yang mencari hidup, ada negara yang diuji konsistensinya.
Ketika 7.150 hektare lahan kembali ke negara, itu bukan hanya angka, melainkan simbol harapan bahwa pemulihan mungkin dilakukan, hukum bisa bersahabat dengan rakyat, dan politik berpihak pada keberlanjutan.
Harapan itu rapuh, namun bukan mustahil jika komitmen dijaga. Sebab pada akhirnya, Tesso Nilo bukan hanya milik Riau, melainkan warisan bangsa untuk generasi yang akan datang.*
Penulis: Redaksi
Editor: Rezi AP
Sumber: AntaraNews