crossorigin="anonymous">
Nasional

Melawan Asap, Menyemai Harapan: Hijau Bangkit di Batas Kilang

Redaksi Redaksi
Melawan Asap, Menyemai Harapan: Hijau Bangkit di Batas Kilang
Dok PT KPI RU II Dumai

Kisah Rudi, petani pionir Tanjung Palas, Riau, yang mengubah lahan bekas karhutla di sekitar kilang minyak menjadi kebun hijau penuh harapan bagi masyarakat.

KABUT tipis pagi itu masih menggantung di atas hamparan hijau muda. Di sebuah sudut Tanjung Palas, Kecamatan Dumai Timur, Kota Dumai, Provinsi Riau. Matahari menembus sisa embun semalam. Butir-butir air masih menempel di daun okra yang hijau muda, berkilauan diterpa cahaya.

Di tengah hamparan itu, Rudi lelaki paruh baya, berjalan pelan di antara bedengan tanaman. Tangannya yang kasar menyentuh daun-daun itu dengan hati-hati, seolah menyapa. “Ini dulu tanah mati,” ujarnya lirih. “Sekarang jadi hidup lagi.”

Pemandangan seperti ini nyaris mustahil dibayangkan dua tahun lalu. Lahan gambut Tanjung Palas dikenal sebagai ‘ladang api’ setiap musim kemarau. Sekali terbakar, tanahnya bisa mengeluarkan asap berbulan-bulan.

Bau hangus menyengat, anak-anak menderita infeksi pernapasan, dan lahan yang digarap hanya menghasilkan debu serta kerugian. Rudi adalah salah satu saksi sekaligus korban.

Sejak muda ia bertani. Orang tuanya menanam sawit di lahan sewa, tetapi hasilnya tak pernah pasti. Ketika kebakaran besar melanda pada 2019 dan 2021, sebagian besar kebun hangus. Ia terpaksa meminjam uang ke koperasi demi menutup biaya hidup. “Saya sempat putus asa,” kenangnya. “Rasanya bertani cuma untuk rugi. Anak-anak juga sempat saya larang ikut-ikut jadi petani.”

Rumah sederhana Rudi berdiri tak jauh dari pagar kilang minyak PT KPI RU II Dumai. Dari jendela ia bisa melihat pipa-pipa raksasa dan cerobong yang menjulang. “Kami hidup berdampingan,” katanya pelan. “Kadang ada rasa minder. Di sana mereka modern, kami di sini masih begini-begini saja.”

Harapan baru datang awal 2022. Tim CSR PT KPI RU II Dumai, melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL), memetakan lahan bekas kebakaran dan mengajak masyarakat membentuk kelompok tani. Rudi awalnya skeptis. "Saya pikir paling-paling datang kasih bibit, habis itu hilang,” katanya.

Namun ajakan itu berbeda. Tim TJSL tidak hanya memberikan bibit, tetapi juga pelatihan intensif serta teknik pengolahan tanah gambut, pemilihan komoditas hortikultura, manajemen kelompok, hingga strategi pemasaran.

Bersama 14 petani lain, ia membentuk Pokmas Alam Tani mengelola 10 hektare lahan bekas Karhutla. Mengolah lahan gambut bukan pekerjaan mudah. Tanahnya rapuh, drainasenya buruk, dan setelah kebakaran lapisan organik di bawah permukaan menjadi sangat asam. Mereka harus membuat parit, mengatur pola tanam, dan menggunakan pupuk organik khusus untuk mengembalikan kesuburan.

Mereka memulai dengan sorgum, cabai, dan jagung. Lalu mencoba komoditas lebih menantang seperti kopi, matoa, cokelat, hingga okra jenis sayuran yang punya pasar ekspor ke Jepang. Satu hektare dikhususkan untuk okra karena masa tanamnya cepat dan hasilnya tinggi.

“Okra itu unik,” kata Rudi sambil menunjukkan buah hijau ramping di tangannya. “Dua bulan sudah bisa panen, dan bisa panen berkali-kali. Ini yang bikin kami semangat.”

Pada Juli lalu, mereka berhasil memanen 20 kilogram okra dan menjualnya ke Pasar Pulau Payung dan Pasar Bundaran seharga Rp20.000 - 25.000 per kilogram. Jumlahnya memang belum besar, tapi bagi mereka, ini langkah maju.

Bagi Rudi, perubahan ini bukan sekadar soal pendapatan. “Saya sekarang tidak malu lagi bilang saya petani. Dulu lahan kami dianggap lahan mati, sekarang orang datang belajar ke sini,” katanya.

Anak-anaknya yang dulu sering sakit karena asap kini bisa berlari-lari di kebun yang hijau. Istrinya mulai mengolah hasil kebun menjadi selai cokelat dan sayur segar untuk dijual di pasar lokal. Keberhasilan ini memantik semangat warga lain.

Beberapa kelurahan sekitar Tanjung Palas mulai bertanya dan ingin meniru model Pokmas Alam Tani. “Kalau bukan kita yang ubah lahan ini, siapa lagi?” ujar Rudi. “Asap itu musibah, tapi kami harus cari cara supaya tidak terulang.”

Cerita Rudi membuktikan bahwa masalah Karhutla bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal memberi masyarakat alternatif ekonomi yang layak. Model pemberdayaan ini menunjukkan rehabilitasi lingkungan dan peningkatan ekonomi bisa berjalan beriringan.

Program TJSL PT KPI RU II Dumai yang mendukung Rudi adalah contoh nyata bagaimana perusahaan besar bisa hadir bukan hanya sebagai tetangga industri, tetapi juga mitra pembangunan. Tidak hanya memberikan bantuan materi, TJSL mengawal proses hingga petani mandiri dan berdaya.

“Dulu saya merasa hidup berdampingan dengan kilang cuma numpang bau. Sekarang kami juga punya kebanggaan sendiri,” kata Rudi. “Kami bisa tunjukkan, kami juga bisa bangkit.”

Bertepatan dengan Hari Tani Nasional setiap 24 September, kisah ini menjadi refleksi bagi seluruh pemangku kepentingan untuk mendukung kesejahteraan petani lokal, ketahanan pangan, dan keberlanjutan lingkungan.

"Kami percaya bahwa keberhasilan program ini adalah hasil kolaborasi. Pertamina berkomitmen terus hadir mendampingi petani lokal agar tumbuh bersama dan berdaya," ujar Agustiawan, Area Manager Communication, Relations, & CSR PT KPI RU II Dumai.

Data terbaru BPBD Riau menunjukkan sejak Januari hingga Agustus 2025, 1.404,38 hektar lahan terbakar tersebar hampir di seluruh kabupaten/kota. Rokan Hilir tercatat sebagai daerah terdampak terparah dengan 280,25 hektar lahan hangus.

Disusul Rokan Hulu (232,3 hektar), Kampar (222,75 hektar), dan Kepulauan Meranti (185,20 hektar). Pelalawan, Siak, Bengkalis, Dumai, hingga Pekanbaru pun tak luput dari jilatan api. Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir masing-masing melaporkan lebih dari 40 hektar kebakaran, sedangkan Kuantan Singingi menjadi yang terkecil, 3,50 hektar.

Ancaman ini diperkuat dengan temuan 2.013 titik panas (hotspot) sejak awal tahun hingga 31 Juli 2025 setara 29 persen total hotspot Sumatera. Tak hanya itu, Riau juga mencatat 326 titik api aktif, terbanyak di Kampar (70 titik) dan Pekanbaru (61 titik).

“Kami tidak hanya melihat angka, tetapi dampak yang bisa ditimbulkannya di lapangan,” ujar Kepala BPBD Riau, M. Edy Afrizal.

Ia menegaskan, Satgas Udara Karhutla Riau bersama BNPB telah mengerahkan pesawat dan helikopter untuk patroli, water bombing, hingga penyemaian garam guna menekan potensi titik api baru.

“Angka hotspot ini peringatan. Kita harus bergerak cepat sebelum api bergerak lebih cepat dari kita,” tutup Edy.

Cerita Rudi membuktikan Karhutla tidak hanya soal teknologi pemadaman. Lebih dari itu, ini soal menyediakan alternatif ekonomi dan memberi masyarakat alasan untuk menjaga lahannya. Dari abu kebakaran, lahir kebun harapan. Dari seorang petani sederhana, lahir motor perubahan.

Kini, Tanjung Palas bukan lagi berita duka tentang Karhutla. Ia menjadi bukti bahwa pendekatan berbasis masyarakat, dengan dukungan perusahaan dan pemerintah, bisa mengubah nasib sebuah wilayah.

Di kebun hijau itu, Rudi berdiri tegak. Angin laut membawa bau tanah basah, bukan asap. Matanya menatap jauh, bukan lagi putus asa, tapi penuh rencana. “Ini baru permulaan,” katanya.*

Penulis: Rezi Andika Putra

Editor: Redaksi


Tag:AJP 2025Anugerah Jurnalistik PertaminaHijau di Batas KilangPT KPI RU II DumaiPT PertaminaTJSL PertaminaTumbuh di Negeri Asap