KHODORI berdiri di tepi kolam bundar berlapis terpal biru, matanya menatap riak air yang bergerak tenang. Di balik riak itu, ribuan ikan nila dan lele berenang dalam pusaran yang teratur, seolah mengikuti irama hidup baru yang ia ciptakan. Di belakangnya, barisan pipa paralon putih berisi sayuran hijau segar menggantung rapi, sebagian siap panen.
Dua tahun lalu, tempat ini hanyalah lahan kosong di belakang rumah warga, ditumbuhi rumput liar dan genangan air hujan. Kini, lahan itu menjadi simbol perubahan bukan hanya bagi warga Kelurahan Pangkalan Sesai, Dumai Barat, tapi juga bagi Khodori sendiri.
Lelaki berusia 46 tahun itu bukan akademisi, bukan ahli pertanian, dan tak pernah akrab dengan istilah teknis seperti bioflok atau hidroponik. Ia hanyalah warga yang menolak menyerah pada keadaan.
Selama bertahun-tahun, Khodori hidup dalam rutinitas yang nyaris tak berubah. Ia bertani seadanya di lahan sempit, menanam cabai, terung, atau kangkung di tanah yang keras dan minim air. Hasilnya jarang cukup. Ketika hujan terlambat, panen gagal. Ketika panen melimpah, harga di pasar jatuh.
Segalanya mulai berubah pada tahun 2023, ketika PT Pertamina Patra Niaga Integrated Terminal (IT) Dumai memperkenalkan program Pertanian Terpadu Hidroponik dan Bioflok untuk masyarakat di sekitar wilayah operasi perusahaan, atau yang disebut wilayah ring satu.
Awalnya, Khodori hanya ingin tahu. Ia datang ke sosialisasi tanpa harapan besar. Tapi cara para pendamping menjelaskan teknologi yang sederhana dan efisien itu menggugahnya. Hidroponik yang tak butuh tanah. Bioflok yang memanfaatkan air kembali. Semua terdengar mustahil bagi petani tradisional seperti dirinya tetapi justru karena itu ia tertantang.
Dari rasa ingin tahu itu, tumbuh keberanian. Bersama sembilan warga lain, ia membentuk Kelompok Yaktapena Idaman, kelompok kecil yang menjadi penerima binaan pertama program tersebut.
Hari-hari pertama terasa berat. Sistem bioflok memerlukan kedisiplinan tinggi menjaga kadar oksigen, mengatur pakan, memastikan air tetap jernih. Begitu pula hidroponik tanaman harus dirawat dengan perhitungan presisi.
Namun dari setiap kesulitan, Khodori belajar satu hal, bahwa air, sekalipun terlihat tenang, menyimpan pelajaran tentang keseimbangan. Jika terlalu banyak diberi, ia meluap jika terlalu sedikit, kehidupan di dalamnya mati. Begitu pula dengan hidupnya.
Dalam waktu singkat, Khodori menjelma dari petani konvensional menjadi pembelajar sejati. Ia mengatur jadwal pemeliharaan ikan, memastikan pipa hidroponik tidak tersumbat, dan mencatat perkembangan tanaman di buku kecil yang kini selalu dibawanya.
Setiap hari, ia memeriksa warna air di kolam kebiasaannya yang baru. Air yang bening menandakan keseimbangan, sedangkan air yang keruh adalah tanda ia harus bertindak.
“Air ini hidup, kalau kita jaga, dia akan memberi lebih banyak dari yang kita kira," ujarnya.
Program yang dijalankan Pertamina IT Dumai tak hanya memberi fasilitas empat kolam bioflok, rumah hidroponik, benih ikan dan sayur tapi juga cara berpikir baru tentang kerja bersama.
Bagi Khodori, keberhasilan bukan soal jumlah ikan yang dipanen, melainkan kemampuan membangun sistem yang berjalan tanpa bergantung pada satu orang.
Ia mengatur pembagian tugas di kelompoknya dengan cermat.
Ada yang bertanggung jawab pada pakan ikan, ada yang mengurus tanaman, dan ada yang memantau pemasaran. Mereka membuat pencatatan hasil panen dan jadwal rotasi kerja hal sederhana, tapi tak pernah dilakukan sebelumnya.
Lambat laun, sistem itu menumbuhkan kepercayaan diri di antara anggota. Mereka merasa memiliki, merasa ikut membangun. Di sinilah Khodori melihat perubahan paling besar masyarakat belajar bekerja bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk masa depan bersama.
Dua tahun berjalan, hasil kerja mereka mulai terlihat nyata. Dari empat kolam bioflok, rata-rata 200 kilogram ikan lele dan nila bisa dihasilkan setiap dua bulan. Dari instalasi hidroponik, sayuran segar seperti sawi, kangkung, dan selada dipanen setiap minggu.
Pendapatan tambahan pun muncul, meski tidak besar. Namun bagi Khodori dan anggota kelompoknya, yang lebih penting adalah keberlanjutan. Anak-anak mereka kini tumbuh dengan melihat bagaimana ayah dan ibu bekerja menjaga lingkungan, bukan merusaknya.
Salah satu kebahagiaan kecilnya adalah ketika seorang pembeli mengatakan bahwa sayurannya lebih segar dan tahan lama. Baginya, itu bukan pujian, tapi tanda bahwa kerja kerasnya dihargai.
"Dulu kami membeli ikan di pasar, sekarang, kami menjual ikan ke pasar," katanya dalam satu percakapan dengan pendamping lapangan.
Bagi Khodori, keberhasilan pertanian modern bukan hanya soal efisiensi, tapi juga keselarasan dengan alam.
Sistem bioflok membuat air tidak lagi terbuang percuma limbahnya diolah alami oleh bakteri baik, lalu dimanfaatkan kembali untuk tanaman. Di tempat yang dulu dipenuhi lumpur dan sampah, kini berdiri ruang hijau yang hidup dan produktif.
Ia percaya bahwa perubahan harus dimulai dari kesadaran. Bahwa menjaga air sama artinya menjaga kehidupan sendiri. Kini, para anggota kelompok mulai menularkan kebiasaan serupa di rumah masing-masing, memanfaatkan air hujan, mengolah sampah organik, menanam di pekarangan.
Pertamina IT Dumai, melalui manajernya Jhonny Mangaraja Silalahi, menilai kelompok ini sebagai contoh keberhasilan program CSR yang paling berkelanjutan di kawasan ring satu.
Namun bagi Khodori, keberhasilan bukan pada pujian itu, melainkan pada perubahan kecil yang kini ia lihat setiap hari, air yang tak lagi keruh, tangan-tangan yang tak lagi menganggur, dan wajah-wajah yang kembali percaya diri.
Lahan sempit di belakang rumah kini menjadi ruang belajar bagi mahasiswa, aparat kelurahan, hingga warga sekitar. Khodori tak lagi malu berbicara di depan orang banyak. Ia menjadi narasumber kecil di kampungnya tanpa gelar, tanpa podium, tapi dengan pengalaman yang hidup.
Kini, di setiap embun pagi yang menetes di daun selada, Khodori melihat refleksi hidupnya sendiri. Dari seseorang yang dulu berjuang untuk sekadar bertahan, ia tumbuh menjadi sosok yang menyalakan harapan di tengah masyarakatnya.
Setiap kali melihat ikan-ikan kecil mulai berenang di kolam baru, ia teringat pada awal mula hari ketika ia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda.
Perubahannya mungkin tak spektakuler di mata dunia, tapi di mata anak-anaknya, ia adalah bukti bahwa ketekunan bisa mengubah hidup. Dari lahan sempit, dari air yang diam, ia menanam masa depan yang mengalir.
Dan di antara suara gemericik air dan desau angin di Jalan Belida, Dumai Barat, harapan itu terus tumbuh tak lekang, tak pernah kering.*
Penulis: Rezi Andika Putra
Editor: Redaksi